Gareng
Bentuk hidung membulat, mata juling, lengan bengkok, kaki pincang, perut
buncit. Demikianlah penampilan Gareng atau Nala Gareng. Sama
seperti tokoh Panakawan lainnya, Gareng hanya dijumpai dalam khazanah
pewayangan Indonesia. Kisah Mahabharata versi India tidak memuat perihal
Gareng. Hal ini menunjukkan tingginya daya kreativitas para seniman wayang
Indonesia, khususnya Jawa, untuk membumikan kisah dari negeri seberang. Di
dalam berbagai kisah, Gareng disebut sebagai anak Semar. Akan tetapi siapakah
Gareng sebenarnya?
Adalah sebuah padepokan yang bernama Padepokan Bluluktiba. Pemilik
padepokan adalah Resi Sukskadi, seorang brahmana. Resi Sukskadi memiliki
seorang anak bernama Bambang Sukskati. Putra tunggal Resi Sukskadi ini
memiliki paras wajah yang cukup menawan dan tubuh yang sentosa. Suatu ketika
Bambang Sukskati memohon ijin ayahnya untuk pergi bertapa di bukit Candala.
Selesai bertapa, Bambang Sukskati berpamitan pada ayahnya untuk pergi
mengembara. Merasa telah memiliki ilmu kesaktian tanpa tanding, Bambang
Sukskati menaklukkan banyak ksatria dan raja-raja. Karena Bambang Sukskati
memang berilmu tinggi, maka dengan mudah dia mengalahkan semua lawan-lawannya.
Kemenangan demi kemenangan membuat dia membusungkan dada, menyombongkan
dirinya.
Di dalam perjalanan dia berjumpa dengan Bambang Penyukilan, anak seorang
pendeta gandarwa bernama Begawan Selantara yang memiliki padepokan di Kembangsore.
Sama seperti Bambang Sukskati, Bambang Penyukilan juga memiliki sifat congkak
karena berilmu tinggi.
Perjumpaan keduanya menimbulkan sengketa karena masing-masing merasa sebagai
orang paling sakti. Mereka bergelut selama lima hari lima malam dan
masing-masing belum menunjukkan tanda-tanda untuk menyerah. Kesaktian keduanya
setara. Akibat perkelahian mereka, terjadi kerusakan di banyak tempat di bumi.
Perkelahian antara Bambang Sukskati dan Bambang Penyukilan mengundang perhatian
Batara Ismaya. Keduanya dinasihati oleh Batara Ismaya untuk menghentikan
perkelahian karena perkelahian mengakibatkan kebencian dan dendam, yang
merupakan kejelekan hidup yang harus dihindari. Sayang sekali baik Bambang
Sukskati maupun Bambang Penyukilan tidak menggubris nasihat Batara Ismaya.
Keduanya ingin melanjutkan perkelahian hingga diketahui siapa yang paling
unggul di antara mereka.
Melihat sikap keduanya Batara Ismaya bersabda, bahwa kesombongan, kecongkakan
adalah suatu kejelekan. Selesai bersabda demikian, tubuh Bambang Sukskati dan
Bambang Penyukilan berubah. Wajah mereka yang semula tampan, menjadi buruk
rupa. Keduanya mengakui kesalahan dan mengakui bahwa ilmu kesaktian mereka
belum sebanding dengan kesaktian Batara Ismaya. Oleh Batara Ismaya, Bambang
Sukskati diberi nama Nala Gareng, sedangkan Bambang Penyukilan diberi nama
Petruk. Pada saat itu juga datanglah Resi Sukskadi dan Begawan Selantara.
Mereka memohonkan ampun atas kesalahan anak-anak mereka. Mereka sepakat untuk
menyerahkan anak mereka kepada Batara Ismaya. Akhirnya kedua anak itu diangkat
sebagai anak oleh Batara Ismaya atau Semar.
Nala Gareng memiliki nama sebutan lain, yaitu Cakrawangsa, Pegatwaja, Pancalpamor,
Pandu Pragolamanik, Pandu Bergola, dan Bambang Jati Pitutur. Nama Pancalpamor
bermakna menolak gemerlapnya duniawi. Pegatwaja bermakna menghindari makanan
yang tidak pantas untuk dimakan. Nala Gareng sendiri bermakna "hati yang
kering" artinya hati yang telah mampu melepaskan segala keinginan duniawi.
Nala, hati; Gareng, garing.
Gareng di dalam lakon carangan tampil sebagai seorang raja bernama Pandu
Pragolamanik atau Pandu Bergola. Dia menguasai sebuah kerajaan bernama Parang
Gumiwang. Sebagai Pandu Pragolamanik, Gareng mengalahkan semua raja-raja
dan bermaksud menguasai Amartapura. Tentu saja dia harus berhadapan dengan
Pandawa. Gareng berhasil mengalahkan kelima Pandawa dengan mudah.
Munculnya Prabu Pandu Pragolamanik atau Pandu Bergola ini membuat suasana
gempar di marcapada. Di lain pihak Semar, Petruk, dan Bagong kebingungan karena
Gareng pergi tanpa pamit. Keberadaan Gareng tidak diketahui. Beruntung Pandawa
mempunyai seorang penasihat utama, Sri Batara Krishna. Krishna
menyarankan kepada Semar, bila ingin bertemu dengan Gareng, dia harus merelakan
Petruk melawan Prabu Pandu Pragolamanik. Mendengar saran Krishna, Semar cepat
tanggap dan paham benar apa yang dimaksud oleh penasihat Pandawa itu. Sebaliknya
Petruk menjadi gamang karena dia telah mendengar kesaktian Prabu Pandu
Pragolamanik.
Melihat Petruk gamang, Semar membisikkan sesuatu ke telinga Petruk. Akhirnya
Petruk menyanggupi untuk berhadapan dengan Prabu Pandu Pragolamanik. Pada waktu
Petruk bertemu dengan Prabu Pandu Pragolamanik, penguasa Parang Gumiwang ini
selalu menghindari tatapan mata Petruk, entah dengan cara membelakangi, entah
dengan menundukkan kepala. Keduanya terlibat perkelahian seru, hingga akhirnya
Prabu Pandu Pragolamanik berubah wujud kembali menjadi Gareng.
Tujuan Gareng menjadi raja dan menyerang Amartapura adalah untuk mengingatkan
para Pandawa agar tidak melalaikan dharma mereka sebagai ksatria dan raja dalam
menyejahterakan rakyat, menjaga keamanan negara dan bangsa. Jangan karena
negara telah mencapai kemakmuran, lantas melalaikan kewajiban menjaga keamanan
negara dan bangsa.
Gareng memiliki sifat periang, suka bercanda, dan setia kepada tuannya. Dia
memiliki seorang isteri bernama Dewi Sariwati, putri Prabu Surawasesa
dan Dewi Saradewati dari negeri Selarengka.
Mata Gareng yang juling melambangkan telah lenyapnya keinginan untuk memiliki
kepunyaan orang lain, lengan yang bengkok melambangkan lenyapnya keinginan
untuk mengambil hak orang lain, dan kaki yang pincang melambangkan
kehati-hatian di dalam mengambil tindakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar